Dalam Manhaj as-Salikin, Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang telah baligh, berakal, dan mampu untuk berpuasa. Dan ia ditetapkan berdasarkan ru’yatul hilal (melihat bulan) atau menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah melihatnya maka berpuasalah. Dan apabila kalian telah melihatnya maka berhari rayalah. Namun, apabila ia tertutup mendung sehingga tidak nampak bagi kalian maka kira-kirakanlah.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam salah satu lafal disebutkan, “Kira-kirakanlah ia menjadi tiga puluh hari.” Dan dalam sebagian lafal yang lain dikatakan, “Sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (HR. Bukhari).” (lihat Ibhaj al-Mu’minin bi Syarh Manhaj as-Salikin [1/354-356])
Syaikh Abdullah al-Jibrin rahimahullah menjelaskan, “Puasa Ramadhan wajib dengan dua sebab. Pertama: melihat hilal. Kedua: menyempurnakan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah melihatnya -yaitu hilal Ramadhan- maka berpuasalah. Dan apabila kalian telah melihatnya -yaitu hilal Syawwal- maka berhari rayalah. Namun, apabila ia tertutup mendung -yaitu hilal Ramadhan- maka kira-kirakanlah.” (Muttafaq ‘alaih). Para ulama telah berbeda pendapat mengenai maksud sabda beliau “maka kira-kirakanlah”. Imam Ahmad dalam pendapatnya yang populer berpendapat bahwa maksudnya adalah “sempitkanlah” artinya kira-kirakanlah bahwa bulan itu hanya dua puluh sembilan hari. Namun, pendapat yang benar bahwa maksudnya adalah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat yang lain, “maka kira-kirakanlah ia menjadi tiga puluh” dan dalam riwayat lain disebutkan “sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” Nah, berdasarkan pendapat pertama tadi maka hari yang diragukan yaitu tanggal tiga puluh Sya’ban apabila pada saat itu langit tertutup oleh mendung atau hujan, dianjurkan padanya untuk berpuasa demi kehati-hatian. Demikianlah yang dilakukan oleh banyak Sahabat, yaitu berpuasa pada hari itu apabila mereka tidak melihat hilal karena mendung atau hujan pada malam tanggal tiga puluh, diantara mereka adalah Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah. ‘Aisyah mengatakan, “Sungguh, sehari berpuasa pada bulan Sya’ban lebih utama bagiku daripada sehari tidak puasa pada bulan Ramadhan .” Adapun berdasarkan pendapat yang kedua maka siang hari tanggal tiga puluh Sya’ban tidak boleh untuk berpuasa kecuali apabila hilal telah tampak, meskipun di sana ada mendung atau hujan. Inilah pendapat yang lebih kuat berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (lihat Ibhaj al-Mu’minin bi Syarh Manhaj as-Salikin [1/355-356])
Imam al-Maziri rahimahullah berkata, “Mayoritas fuqoha’/ahli fikih menafsirkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam “maka kira-kirakanlah” dengan maksud menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari sebagaimana ditafsirkan dalam hadits yang lain. Mereka mengatakan, “Tidak boleh dimaknakan bahwa yang dimaksud adalah dengan menggunakan hisab/perhitungan para ahli perbintangan. Karena seandainya umat manusia dibebani dengan cara itu niscaya akan menyulitkan bagi mereka, sebab tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir orang saja. Padahal, syari’at itu diperkenalkan kepada umat manusia hanya melalui hal-hal yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang diantara mereka, wallahu a’lam.” (lihat Syarh Muslim [4/415])
Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (jumhur ulama) mengatakan: maksud sabda beliau “kira-kirakanlah” artinya perhatikanlah pada awal bulan dan hitung bulan itu sempurna menjadi tiga puluh hari. Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain yang secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah sebagaimana keterangan dalam sabda beliau, “maka sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari” atau riwayat lain yang serupa. Dan cara paling tepat dalam menafsirkan suatu hadits adalah dengan melihat kepada hadits pula.” (lihat Fath al-Bari [4/142])
Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Terkadang bulan itu hanya dua puluh sembilan malam saja. Oleh sebab itu janganlah kalian berpuasa kecuali apabila kalian telah melihatnya. Apabila langit tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan itu menjadi tiga puluh.” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Shaum [1907] dan Muslim dalam Kitab ash-Shiyam [1080])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah karena melihatnya dan berhari rayalah karena melihatnya. Apabila ia tersamar dari pandangan kalian maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Shaum [1909] dan Muslim dalam Kitab ash-Shiyam [1081], ini lafal Bukhari)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits-hadits ini terkandung penunjukan bagi madzhab Malik, Syafi’i, dan jumhur bahwa tidak boleh berpuasa pada hari yang diragukan. Demikian pula tidak boleh berpuasa pada tanggal tiga puluh Sya’ban untuk menyambut Ramadhan apabila malam tanggal tiga puluh diselimuti oleh mendung. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berpuasalah karena melihatnya dan berhari rayalah karena melihatnya” yang dimaksud adalah ru’yah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, tidak dipersyaratkan setiap orang untuk melihatnya. Cukup bagi semua orang dengan ru’yah oleh dua orang yang adil, demikian pula cukup dengan satu orang yang adil menurut pendapat paling benar untuk menetapkan puasa. Dalam hal penetapan hari raya, maka tidak boleh dengan persaksian satu orang adil saja untuk menetapkan hilal Syawwal, demikianlah yang dianut oleh segenap ulama kecuali Abu Tsaur, karena dia membolehkan hal itu dengan persaksian satu orang yang adil.” (lihat Syarh Muslim [4/415-416])
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Berdasarkan hadits-hadits ini jelaslah bahwasanya tidak boleh dilakukan puasa Ramadhan sebelum tampaknya hilal. Apabila hilal belum terlihat maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Dan tidak boleh dilakukan puasa pada tanggal tiga puluhnya, sama saja apakah malamnya langit cerah ataupun mendung. Hal ini berdasarkan ucapan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i, Bukhari juga menyebutkannya secara mu’allaq/tanpa sanad).” (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 17 cet. Dar al-‘Aqidah)
Dari Shilah, dia berkata: Kami berada bersama ‘Ammar pada hari yang diragukan lalu dihidangkanlah seekor kambing, tetapi sebagian orang menghindar dan tidak mau makan. Melihat hal itu ‘Ammar berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini, sesungguhnya dia telah durhaka kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab ash-Shiyam [2334] dan Tirmidzi dalam Kitab ash-Shaum [686], disahihkan Syaikh al-Albani).
Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh kebanyakan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in sesudah mereka. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin al-Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka membenci apabila seseorang berpuasa pada hari yang diragukan…” (lihat Sunan at-Tirmidzi, hal. 172). Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya berpuasa pada hari yang diragukan, karena seorang Sahabat tidak mungkin mengucapkan hal itu semata-mata berdasarkan hasil pemikirannya, oleh sebab itu hadits ini dihukumi marfu’/sebagaimana sabda nabi.” (lihat Fath al-Bari [4/141]).
Dari ‘Amir, dia berkata, “Ali dan ‘Umar melarang untuk berpuasa pada hari yang diragukan termasuk Ramadhan atau bukan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf [9576]). Dari Abdul ‘Aziz bin Hakim, dia berkata: Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata, “Seandainya aku puasa setahun penuh, niscaya aku akan berbuka pada hari yang diragukan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf [9578]). Dari putri Hudzaifah, dia menuturkan, “Hudzaifah melarang melakukan puasa pada hari yang diragukan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf [9580]).
Dari al-‘Aizar, dia menceritakan: Aku datang kepada Ibrahim pada hari yang diragukan. Maka dia berkata, “Barangkali kamu sedang puasa. Jangan puasa kecuali bersama jama’ah (masyarakat dan pemerintah, pent).” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf [9585]). Dari Abu Khalid, bahwa asy-Sya’bi mengatakan, “Tidak ada suatu hari yang aku berpuasa padanya yang lebih aku benci daripada hari dimana orang-orang berselisih padanya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf [9583]).
Dari Ja’far bin Sulaiman, dari Habib bin asy-Syahid, bahwa Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh, aku berbuka sehari di bulan Ramadhan dalam keadaan tidak sengaja lebih aku sukai daripada aku harus berpuasa pada hari yang diragukan pada bulan Sya’ban.” Ja’far mengatakan: Asma’ bin ‘Ubaid mengabarkan kepadaku. Dia berkata: Kami datang kepada Muhammad bin Sirin pada hari yang diragukan. Kami pun berkata, “Apa yang harus kami lakukan?”. Maka beliau berkata kepada pembantunya, “Pergilah, coba lihat apakah amir (kepala pemerintahan, pent) puasa atau tidak?”. Dia (Ja’far atau Asma’, pent) berkata: Pada saat itu yang menjadi amir adalah Adi bin Arthah. Kemudian dia kembali dan melapor, “Aku menjumpai beliau tidak berpuasa.” Asma’ berkata, “Maka Muhammad (Ibnu Sirin) pun meminta agar makanannya dihidangkan. Kemudian dia pun makan, dan kami ikut makan bersamanya.” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf [7329])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali orang yang kebetulan sedang menjalani puasa maka silahkan dia berpuasa.” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Shaum [1914] dan Muslim dalam Kitab ash-Shiyam [1082])
Para ulama menerangkan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya dengan alasan kehati-hatian, sebab hukum puasa Ramadhan dikaitkan dengan ru’yah/melihat bulan. Oleh sebab itu tidak perlu takalluf/membeban-bebani diri dengan berpuasa pada hari-hari tersebut, kecuali bagi orang yang punya kebiasaan puasa sunnah -seperti senin kamis- kemudian bertepatan dengannya maka tidak mengapa dia berpuasa pada hari itu. Keringanan ini berlaku untuknya dengan kesepakatan para ulama (lihat Fath al-Bari [4/150-151], Syarh Muslim li an-Nawawi [4/419], Taudhih al-Ahkam [3/442])
Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa larangan dalam hadits ini secara lahiriyah mengandung makna pengharaman, meskipun demikian sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh. Salah satu hikmah larangan ini adalah larangan sikap tanaththu’/berlebih-lebihan dalam beragama dan larangan dari melampaui batas-batas ketentuan yang telah diwajibkan oleh Allah ta’ala. Adapun bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan atau puasa nadzar maka pada saat itu berpuasa bukan lagi keringanan baginya akan tetapi menjadi sebuah kewajiban. Oleh sebab itu dia wajib untuk berpuasa, karena menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada meninggalkan sesuatu yang makruh (lihat Taudhih al-Ahkam [3/442] cet. Maktabah al-Aidi)
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini juga mengandung bantahan bagi orang yang berpendapat bolehnya mendahulukan puasa sebelum ru’yah semacam kaum Rafidhah/Syi’ah. Selain itu, ia juga mengandung bantahan bagi orang yang membolehkan puasa sunnah mutlaq (puasa sunnah tanpa sebab tertentu) pada hari-hari tersebut (lihat Fath al-Bari [4/151] cet. Dar al-Hadits)